Info Penting
Jumat, 26 Jul 2024
  • Memilih untuk tidak menentukan pilihan adalah keputusan yang harus diakui sebagai HAK ASASI setiap individu merdeka
  • Memilih untuk tidak menentukan pilihan adalah keputusan yang harus diakui sebagai HAK ASASI setiap individu merdeka
5 Desember 2023

Banyak Pihak Menuduh TPL Biang Kerok Longsor di Samosir dan Humbang Hasundutan

Sel, 5 Desember 2023 Dibaca 35x Konservasi / Lingkunan Hidup / Perubahan Iklim

Samosir, NINNA.ID-Banyak pihak menuduh Perusahaan Toba Pulp Lestari (TPL) biang kerok longsor di Samosir dan Humbang Hasundutan. Pihak tersebut di antaranya Organisasi WALHI, AMAN, BNPB dan sejumlah individu.

Hal tersebut disampaikan organisasi dan pembicara tersebut dalam Acara Berjudul “Penyebab Banjir Bandang Samosir” yang diadakan melalui siaran Zoom pada Jumat 17 November 2023.

Menurut WALHI

Dalam dokumen yang dibagikan selama acara, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengemukakan, penyebab banjir di Samosir dan Humbang Hasundutan karena berkurangnya hutan di wilayah hulu desa-desa.

Melalui analisis peta tutupan hutan dan peta alur sungai, desa-desa terdampak banjir kiriman dari Kawasan Bentang Alam Tele.

Bentang Tele memiliki fungsi ekologis yang sangat penting untuk Kawasan Danau Toba.

Bentang ini merupakan kawasan hutan terakhir yang masih mungkin untuk diselamatkan.

Keberlangsungan Bentang Tele ini dapat memastikan keberlanjutan stabilisasi iklim dan kontrol debit air Danau toba, danau vulkanik terluas di dunia.

Bentang Tele ini sedang menghadapi ancaman, baik secara legal via konsesi tebang milik PT. Toba Pulp Lestari seluas 68.000 hektar, maupun illegal, oleh perusahaan-perusahaan kayu di sekitar kawasan tersebut.

Bentang hutan Tele juga punya fungsi penting untuk memastikan keselamatan puluhan desa di pinggiran Danau Toba.

Desa-desa di lembah-lembah Samosir menggantungkan hidupnya dari kelestarian hutan ini. Bentang Tele merupakan sumber air guna mengairi persawahan dan kebutuhan air bersih.

Kerusakan Bentang Tele berpotensi menimbulkan longsor di sepanjang tebing dimana warga desa tinggal.

Akan tetapi, sayangnya laju kehilangan tutupan pohon di Kawasan Bentang Alam Tele meningkat dalam 10 tahun terakhir dan 92,5 persen akibat konsesi PT. TPL.

WALHI Sumatera Utara meminta agar Pemerintah segera bertindak menyelesaikan persoalan banjir secara holistik yaitu dengan mengembalikan fungsi hutan di Kawasan Bentang Tele. Jika ada perusahaan beroperasi di areal tersebut, Pemerintah harus mencabut izinnya dan mengembalikan fungsinya sebagai upaya mitigasi bencana banjir di masa depan.

Menurut AMAN

Dalam dokumen yang dibagikan selama acara, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang diwakili Abdon Nababan, juga mengatakan hal yang sama seperti yang disebutkan WALHI.

Terjadi praktik alih fungsi lahan berskala besar di dalam Kawasan Hutan Bentang Tele.

Aktivitas TPL berkontribusi terhadap deforestasi skala besar yang terjadi di Bentang Alam Tele.

Menurut BNPB

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengemukakan faktor manusia menjadi penyebab utama terjadinya banjir bandang di Indonesia.

Hal ini disebabkan tingginya laju pembangunan di daerah hulu DAS yang tidak memerhatikan aspek lingkungan.

Diduga telah terjadi penebangan pohon Eukaliptus di atas Kenegerian Sihotang.

Menurut Sebastian Hutabarat

“Ada pepatah Batak, molo litok aek di toru, tikkiron ma tu julu, yang artinya kalau ada air keruh di hilir, perlu kita lihat ke hulu atau sumbernya. Apalagi kalau ada banjir. Tidak bijak rasanya kalau kita menyalahkan alam. Hampir bisa dipastikan penyebabnya karena kerusakan alam,” jelas Sebastian, aktivits lingkungan, dalam pesan berantai yang ia bagikan ke sejumlah grup.

Dengan rasa amarah, ia menyebut rentetan peristiwa banjir bandang sebagian besar disebabkan oleh TPL. Beberapa tahun lalu di Sitioio Samosir. Tahun ini di Sihotang Samosir dan di Baktiraja Humbang Hasundutan.

“Sebelumnya berbagai kasus banjir yang hampir bisa dipastikan karena hutan yang semakin habis. Kami yang berdomisili sekitar 100 meter saja di atas Danau Toba sering mengalami banjir manakala hujan datang berjam-jam. Yang ini diperparah karena bobroknya infrastruktur paret-paret yang tidak berfungsi sehingga air meluap ke jalan raya dan membanjiri rumah/ladang siapa saja yang berada di elevasi bawah jalan,” terangnya.

Ia mengatakan yang bertanggung jawab atas malapetaka banjir bandang dan longsor tersebut bukan hanya PT TPL. Pelaku pembabat hutan dan pemilik konsesi juga ikut bertanggung jawab.

Pemerintah yang memberi ijin membabat hutan hutan ini dan menggantikannya dengan Pohon Eukaliptus harus lebih bertanggung jawab.

“Kalau Pemerintah mau berdalih perlu uang, yang sering jadi korban bahkan korban nyawa hampir selalu di pihak masyarakat. Pemilik konsesi dan pemberi izin. Paling-paling menyampaikan kalimat basa-basi yang sudah bisa ditebak. Turut Berduka. Mari kita jaga alam. Lalu buat program basa-basi menanam semilyar pohon dan sebagainya,” terang Sebastian.

Selama tidak ada moratorium pemberhentian penebangan hutan, maka aneka program tanam tanam pohon itu hanya basa basi, jelasnya tegas.

Pemberian kartu kuning dari UNESCO ke Geopark Kaldera Toba seharusnya menjadi peringatan bagi para pemangku kepentingan untuk mengeluarkan moratorium penebangan hutan.

“Pemerintah malah sibuk mengurusi aneka urusan seperti lomba jetski, F1H20 dan lainnya. Padahal itu bukan hal yang paling dibutuhkan untuk Kawasan Danau Toba,” jelasnya.

Menurut Rintos Sastro Sinambela

Persoalan konsesi lahan hutan yang dijadikan sebagai program negara atau yang dikelola swasta seperti Food Estate, lahan konsesi perusahaan TPL (Toba Pulp Lestari) di Kecamatan Pollung, dan PLTMH yang berada di Kecamatan  Baktiraja.

Disisi lain program ini menguntungkan, tapi tetap juga bisa menimbulkan dampak negatif bagi keberlangsungan alam.

“Sebagai masyarakat setempat saya sendiri patut menduga musibah banjir ini bukan perihal bencana alamiah lagi. Masalahnya sudah terjadi berulang. Semula normal, kini sudah menghawatirkan dan mengancam kehidupan warga terkhusus Baktiraja,” ungkap Rintos, pemuda Baktiraja.

Keberadaan Food Estate, lahan konsesi TPL dan PLTMH di Bumi Humbang Hasundutan ini, sangat berpengaruh terhadap daya dukung lingkungan hidup.

Banjir Bandang di Samosir dan Humbahas

Beberapa Desa di Kabupaten Samosir, pada tanggal 13 November 2023 dilanda banjir bandang yang diduga disebabkan oleh curah hujan berkepanjangan selama dua minggu.

Desa Siparmahan, Sihotang, Dolok Raja, Sampur Toba, dan Turpuk Limbong terkena dampak. Banjir bandang dan longsor paling parah menimpa Desa Siparmahan.

Ada 1 korban jiwa yang diseret banjir yang ditemukan setelah empat hari pencarian BNPB.

Warga dari empat desa yang terkena dampak mengungsi ke Gereja Katolik Pintu Batu dan beberapa rumah di sekitar.

BNPB melaporkan lima rumah rusak berat, empat jembatan hancur, serta kerusakan fasilitas pendidikan, kesehatan, gereja, dan lahan pertanian. Ada 620 jiwa yang mengungsi, dengan satu korban hilang.

Selain itu, banjir bandang juga meluluhlantakkan sejumlah desa di Humbang Hasundutan. Di antaranya Desa Marbun Toruan, Marbun Tonga Dolok, dan desa lainnya.

Banjir ini mengakibatkan terendamnya rumah dan lahan pertanian setinggi 50-70 cm.

Sanggahan TPL

Dalam siaran pers TPL, Direktur TPL, Jandres Silalahi, mengatakan banjir bandang Samosir bukan dampak operasional TPL.

Jandres menjelaskan dari hasil data yang dikumpulkan tim TPL di lapangan, banjir bandang Samosir disebabkan oleh sejumlah aspek, yakni curah hujan yang tinggi selama 12 jam, kondisi tutupan lahan Daerah Tangkapan Air (DTA) banjir sebagian besar (75 persen) berupa non hutan sehingga kemampuan tanah untuk meresap air (intersepsi) sangat rendah.

Selanjutnya kondisi kelerengan lahan ± 73 persen curam dan sangat curam, serta banyaknya material lumpur dan bebatuan di dasar sungai, yang menyebabkan tersumbatnya sungai Sitio-tio.

“Tidak ada pengaruh atau keterkaitan operasional TPL dengan penyebab banjir ini, karena aliran air DTA banjir Siparmahan Sihotang adalah ke timur dan dialirkan secara langsung ke Danau Toba sedangkan DTA TPL adalah ke arah barat daya (Aek Silang) dan barat laut (Lau Renun) ini berarti arah aliran konsesi TPL Tele dan DTA banjir bertolak-belakang dan diperkuat dengan tidak adanya kayu jenis eucalyptus dalam material banjir”, terang Jandres.

Penulis: Damayanti Sinaga
Editor: Damayanti Sinaga

Sumber:https://www.ninna.id/banyak-pihak-menuduh-tpl-biang-kerok-longsor-di-samosir-dan-humbang-hasundutan/

Artikel ini memiliki

0 Komentar

Tinggalkan Komentar